Dampak Pelemahan Industri Pengolahan Nikel pada Ekonomi Sulawesi Selatan Penghentian operasional smelter nikel milik PT Huadi Nickel Alloy ...

Dampak Pelemahan Industri Pengolahan Nikel pada Ekonomi Sulawesi Selatan
Penghentian operasional smelter nikel milik PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) pada pertengahan Juli 2025 telah memicu kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi Sulawesi Selatan (Sulsel). Bank Indonesia menyatakan bahwa kuartal III/2025 berpotensi mengalami tekanan akibat pelemahan industri pengolahan nikel yang menjadi salah satu sektor utama perekonomian daerah ini.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Sulsel, Rizki Ernadi Wimanda, menjelaskan bahwa ketika industri pengolahan tidak beroperasi, maka performa ekonomi wilayah tersebut akan menurun. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa beberapa perusahaan smelter di Sulsel telah menghentikan operasionalnya dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan.
"Industri pengolahan nikel sangat penting bagi perekonomian Sulsel. Jika tidak ada produksi, maka performanya akan turun. Kami memprediksi penurunan pada kuartal tiga karena ada smelter yang berhenti beroperasi," ujarnya dalam wawancara dengan Bisnis, Rabu (20/8/2025).
Penyebab Pelemahan Harga dan Permintaan Nikel Dunia
Rizki menjelaskan bahwa harga dan permintaan nikel dunia saat ini sedang mengalami pelemahan akibat beberapa faktor. Pertama adalah oversupply atau kelebihan pasokan nikel yang terus meningkat sejak 2021. Kedua, perlambatan ekonomi Tiongkok yang memengaruhi permintaan nikel untuk industri baja tahan karat (stainless steel). Ketiga, pergeseran pola konsumsi ke baterai berbahan dasar litium yang mulai mendominasi pasar.
Berdasarkan data dari International Nickel Study Group (INSG), produksi nikel primer global meningkat dari 3,363 juta ton pada 2023 menjadi 3,526 juta ton pada 2024. Proyeksi tahun 2025 mencapai 3,735 juta ton. Namun, surplus pasar nikel juga semakin melebar. Surplus tercatat sebesar 170.000 ton pada 2023, naik menjadi 179.000 ton pada 2024, dan diprediksi mencapai 198.000 ton pada 2025.
Permintaan nikel cenderung termoderasi. Di Tiongkok, permintaan untuk stainless steel melemah akibat perlambatan ekonomi negara tersebut. Sementara itu, permintaan untuk baterai berbasis nikel juga turun karena dominasi baterai litium.
Dampak pada Ekspor dan Margin Usaha
Harga nikel global pada Juni 2025 mengalami kontraksi hingga 14,26% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini berdampak langsung pada ekspor nikel Sulsel yang mengalami penurunan sejak awal 2023. Pada kuartal II/2025 saja, nilai ekspor wilayah ini terkontraksi hingga 12,42% secara tahunan.
Selain itu, margin usaha para pelaku industri nikel juga tertekan akibat harga yang menurun. Sejumlah perusahaan smelter dilaporkan menghentikan operasional dan melakukan PHK terhadap karyawan. Situasi ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi di Sulsel semakin nyata, terutama jika kondisi ini berlanjut hingga kuartal III/2025.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Meskipun situasi saat ini menunjukkan tantangan besar, Rizki menegaskan bahwa Bank Indonesia terus memantau perkembangan ekonomi Sulsel. Ia berharap agar sektor industri nikel dapat bangkit kembali melalui langkah-langkah strategis, seperti diversifikasi produk dan peningkatan efisiensi operasional.
Namun, untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pelaku bisnis, dan lembaga keuangan. Dengan adanya dukungan yang tepat, Sulsel dapat tetap menjadi pusat industri nikel yang stabil dan berkelanjutan di masa depan.
COMMENTS