Perayaan Ulang Tahun Ke-62 Teater Nasional (TENA) sebagai Momentum Refleksi dan Pembaruan Perayaan ulang tahun ke-62 Teater Nasional (TENA)...

Perayaan Ulang Tahun Ke-62 Teater Nasional (TENA) sebagai Momentum Refleksi dan Pembaruan
Perayaan ulang tahun ke-62 Teater Nasional (TENA) menjadi momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang teater di Kota Medan. Acara ini tidak hanya sekadar merayakan usia yang cukup tua, tetapi juga menjadi ajang menegaskan posisi seni teater sebagai ruang pertemuan gagasan, tubuh, dan kebudayaan. Dalam acara tersebut, hadir aktris dan sutradara ternama Rita Matu Mona, yang memberikan inspirasi bagi para pelaku teater di kota ini.
Ketua TENA, Wan Hidayati, menekankan pentingnya membangun kembali ekosistem teater yang sehat di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks. Baginya, teater bukan hanya bentuk ekspresi artistik, tetapi juga ruang hidup bersama di mana manusia belajar memahami diri sendiri dan sesamanya. “Kita ingin menggairahkan kembali geliat teater di Kota Medan, menumbuhkan ekosistem bertemu yang sehat,” ujarnya. Pernyataan ini mengandung makna reflektif mendalam: bahwa kebangkitan teater bukan hanya soal frekuensi pementasan, tetapi juga tentang bagaimana komunitas teater membangun ruang dialog, solidaritas, dan pencarian bentuk estetik yang sesuai dengan identitas Sumatera Utara.
Krisis Identitas dan Tantangan Ekosistem Teater
Dalam dua dekade terakhir, kehidupan teater di Medan mengalami pasang surut. Banyak kelompok teater lahir dari semangat kampus atau komunitas, namun tak sedikit pula yang hilang tanpa jejak karena keterbatasan ruang, pendanaan, dan perhatian publik. Situasi ini menyebabkan minimnya pementasan dan hilangnya atmosfer kompetitif yang sehat antar-kelompok.
Dari perspektif ekologi budaya, kondisi ini menunjukkan bahwa teater di Medan tengah menghadapi krisis ekosistem. Tidak ada jalinan yang kuat antara seniman, lembaga kebudayaan, media, dan publik penonton. Padahal, keberlanjutan seni pertunjukan sangat bergantung pada hubungan timbal balik antara pelaku dan penikmat.
Hidayati menegaskan bahwa teater di Sumatera Utara seharusnya terus mencari “bentuk idealnya sendiri”. Ungkapan ini menegaskan pentingnya menggali akar lokalitas—baik melalui bahasa, gestur tubuh, maupun tema sosial—sebagai sumber penciptaan yang autentik. Kehadiran tokoh seperti Rita Matu Mona, yang dikenal dengan dedikasinya terhadap eksplorasi bentuk dan tubuh aktor, menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk tidak berhenti bereksperimen.
Teater sebagai Ruang Refleksi Sosial
Teater selalu merefleksikan denyut sosial masyarakatnya. Dalam masyarakat yang tengah bertransformasi menuju era digital, teater menjadi semacam oase bagi pencarian makna manusiawi. Ia mengingatkan bahwa di balik layar-layar gawai, masih ada tubuh-tubuh yang berbicara, menangis, menari, dan berpikir.
Kehadiran TENA sebagai lembaga teater tertua di Medan membawa warisan penting: keberanian untuk terus hidup dalam ruang yang serba terbatas. Sejak berdirinya pada dekade 1960-an, TENA telah menjadi saksi bagaimana politik, budaya, dan ekonomi membentuk arah seni pertunjukan di daerah ini. Namun, usia yang panjang tidak menjamin vitalitas. Karena itu, ulang tahun ke-62 ini justru menjadi titik balik untuk menghidupkan kembali semangat regenerasi dan kolaborasi lintas komunitas.
Menumbuhkan Ekosistem Bertemu
Istilah “ekosistem bertemu” yang digunakan oleh Hidayati mengandung makna filosofis yang menarik. Ia menegaskan bahwa seni teater tumbuh dari perjumpaan—antara aktor dan penonton, antara ide dan tubuh, antara tradisi dan inovasi. Perjumpaan inilah yang membedakan teater dari bentuk seni lainnya.
Dengan menghidupkan kembali ruang-ruang pertemuan—baik berupa latihan bersama, diskusi, maupun pertunjukan terbuka—Medan dapat membangun fondasi baru bagi kehidupan teaternya. Langkah kecil seperti mengadakan diskusi lintas komunitas, lokakarya teater tubuh, atau kolaborasi dengan seniman lintas disiplin (musik, tari, film) dapat menjadi strategi jangka panjang membangun ekosistem kreatif yang inklusif.
Refleksi dan Harapan
Perayaan HUT TENA ke-62 bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan sebuah ajakan untuk merefleksikan peran teater di masa kini. Di tengah dunia yang semakin tergesa dan digital, teater hadir sebagai pengingat bahwa manusia membutuhkan ruang untuk berhenti sejenak—menatap, mendengar, dan merasakan.
Jika refleksi ini dihayati secara kolektif, maka cita-cita Wan Hidayati untuk menggairahkan kembali teater di Medan bukanlah utopia. Ia adalah proses panjang, seperti halnya tubuh aktor yang terus berlatih menemukan kesadaran baru. Dan dari kesadaran itulah, kehidupan teater di Medan mungkin akan menemukan kembali bentuk idealnya: teater yang tumbuh dari bumi sendiri, namun berpikir universal.
COMMENTS