Pertunjukan Teater "Tuhan di Ujung Kalimat" yang Membuat Penonton Merenung Pada malam hari Sabtu, 11 Oktober 2025, Studio Ngaos A...

Pertunjukan Teater "Tuhan di Ujung Kalimat" yang Membuat Penonton Merenung
Pada malam hari Sabtu, 11 Oktober 2025, Studio Ngaos Art di Kota Tasikmalaya menjadi saksi dari sebuah pertunjukan teater eksklusif bertajuk “Tuhan di Ujung Kalimat”. Karya ini merupakan hasil garapan sutradara AB Asmarandana. Pertunjukan ini adalah bagian dari program “Pentas Sebelum Pantas” yang diproduksi oleh Ngaos Art. Dalam pementasan ini, hadir aktor tunggal Hendri Pramono dari Teater GWS Karawang—yang juga merupakan nominator aktor terbaik Lanjong Art Festival 2025.
Pertunjukan Ngaos Art ini tidak dibuka untuk umum, melainkan hanya untuk tamu undangan dan penonton yang telah melakukan reservasi sebelumnya. Dengan dukungan aktor lain seperti Lingkar, Kahfi, dan Alvin, penonton disambut dengan dzikir Hasbunallah Wa ni'mal wakil, serta pertanyaan dan pernyataan intimidatif tentang menjadi penonton yang baik. Hadirin pun menjadi partisipator yang manut pada apa yang diintruksikan oleh ketiga aktor tersebut, mendukung jalannya cerita agar sesuai dengan skrip.
Perubahan Formasi dan Pemain Baru
Setelah formasi berubah, beberapa tokoh penting turut menyumbangkan kehadiran mereka dalam pertunjukan. Doktor Rachman Sabur, sutradara Teater Payung Hitam Bandung, Ustadz Aan Farhan—Ajengan Kasohor Kota Tasikmalaya, Edi Sutardi—tokoh teater Nasional asal Ciamis yang kini berdomisili di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menyutradarai Teater Matahari. Dokter Billy—neurologis yang gemar bicara soal tasawuf—duduk di empat kursi yang ceritanya salah satu pojok di warung kopi. Tentu saja kehadiran mereka diperankan oleh aktor, yaitu Alfin, Kahfi, Fikri Aly, dan Ahsan Kribo.
Lalu muncul Hendri Pramono yang ceritanya hadir dan ikut menyimak pembicara keempat tokoh tersebut. Melalui perspektifnya, lontaran-lontaran kalimat tokoh-tokoh itu disampaikan kepada penonton, yang juga menjadi motif reflektif aktor.
Musik dan Kontemplasi
Dengan iringan musik khas warung kopi—mungkin—lagu dangdut yang biasanya menjadi ciri khas hiburan masyarakat, menemani aktor, juga penonton, untuk masuk dalam area berfikir yang kontemplatif dan skeptis tentang kata Tuhan yang selalu dibawa-bawa dalam setiap kalimat.
Refleksi Spiritual dan Perspektif
Dalam pernyataannya, AB Asmarandana menjelaskan bahwa karya ini bukan sekadar eksplorasi tentang Tuhan atau Ketuhanan, melainkan tentang “yang di antara keduanya”—sebuah zat pencarian yang menimbulkan getaran, refleksi spiritual yang lahir dari kedalaman batin manusia. Ia menegaskan, bahwa pertunjukan ini adalah upaya menyodorkan sesuatu yang tampak sederhana di permukaan, namun sejatinya menggedor keaktoran dan mengguncang batas persepsi penonton tentang realitas.
Menurut AB, “Saya tidak menampilkan realitas, tetapi sesuatu yang lebih nyata dari realitas itu sendiri.”
Tanggapan dan Diskusi Usai Pementasan
Diskusi usai pementasan berlangsung hangat. Doni M. Nur, penulis sekaligus pegiat teater Tasikmalaya, menilai bahwa tema tersebut sudah selesai dibicarakan secara filosofis, namun menarik ketika dimunculkan kembali melalui teater. “Setiap manusia adalah Zatullah. Saya curiga ini berangkat dari percakapan sehari-hari. Tapi apakah pantas topik seperti ini dipentaskan?” ujarnya dengan nada reflektif.
Sementara itu, tanggapan dari penonton muda turut mewarnai suasana. Sora, penonton dari kalangan Gen Z, mengaku kebingungan menikmati pertunjukan kali ini, berbeda dengan pentas Ngaos Art sebelumnya. Friska, siswi SMA, justru mempertanyakan formatnya, “Mengapa disebut monolog, padahal yang tampil tidak hanya satu orang?”
Pandangan Kritis dan Refleksi
Pandangan kritis juga datang dari Lendradipraja, pegiat teater Tasikmalaya, yang menilai pementasan ini tidak bagus untuk dinikmati secara utuh. “Di luar wacana paradoks dan dualisme yang diangkat, semua itu baru bisa dilakoni ketika pelaku maupun penonton sudah melewati tahapnya sendiri,” ujarnya.
Dari sisi religius, Ajengan Milenial – Ustadz Icun mengungkapkan bahwa karya ini mencoba memaksakan metodologi berpikir pribadi kepada penonton, namun di sisi lain menyodorkan refleksi kesadaran yang belum tampak secara lahiriah. Ia menilai karya AB ini bersifat reflektif, kritis, dan skeptis, membuka ruang tafsir bagi tiap penonton.
Irvan Mulyadi, ASN berprestasi asal Tasikmalaya, mengaku selalu diajak berpikir setiap kali menonton pentas Ngaos Art. “Masalah diangkat dengan hati-hati. Di kota santri seperti Tasikmalaya, pertunjukan ini berani mengajak berpikir lewat simbol, aroma dupa, lagu Genjer-genjer, bahkan interaksi penonton.”
Sementara Dedy S. Putra Siregar, penggiat teater dari Jakarta, menilai pertunjukan ini menyerupai presentasi santri pesantren. Ia menambahkan, “Teater berawal dari realita, tapi AB berbicara tentang sesuatu yang lebih nyata dari realita. Apakah ini bentuk keinginan untuk pulang—atau kembali menjadi anak-anak?”
Penutup dengan Refleksi Agama
Diskusi ditutup dengan refleksi dari Ustadz Aan Ahmad Farhan, ulama kharismatik Tasikmalaya, yang mengutip Q.S. Al-Fatihah ayat 5: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin.” Ia mengingatkan bahwa manusia hanyalah makhluk hina di hadapan Allah. “Jangan sombong dengan pikiran. Untuk mengenal Tuhan, fikiran dan amal harus sejalan. Jika masih ada keraguan, berarti belum yakin.”
COMMENTS