Masalah Pasokan Gas dan Harga yang Mengancam Industri Nasional Di tengah melimpahnya cadangan gas dalam negeri, persoalan pasokan dan mahal...

Masalah Pasokan Gas dan Harga yang Mengancam Industri Nasional
Di tengah melimpahnya cadangan gas dalam negeri, persoalan pasokan dan mahalnya harga gas masih menjadi tantangan besar bagi pelaku industri. Keterbatasan pasokan gas murah dinilai dapat menekan produktivitas manufaktur dan memunculkan risiko deindustrialisasi. Pelaku usaha mengeluhkan bahwa alokasi kuota gas murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) saat ini untuk industri di bagian barat Jawa dibatasi di kisaran 60%-65% dan bagian timur sebesar 50%-55% dari total kuota yang diberikan. Selebihnya, pelaku usaha mesti membayar dengan harga gas hasil regasifikasi LNG senilai US$15,3 per million British thermal unit (MMBtu).
Pemerintah telah memberikan alokasi kuota gas murah untuk tujuh sektor industri, seperti pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7 per MMBtu dan untuk bahan baku sebesar US$6,5 per MMBtu.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Saleh Husin menyatakan bahwa harga gas yang terlalu tinggi dapat membuat industri nasional kehilangan daya saing. Pasalnya, gas bumi merupakan komponen penting dalam proses produksi industri pengolahan, seperti pupuk, baja, semen, farmasi, keramik, tekstil, hingga makanan dan minuman. “Kalau harga gas terlalu tinggi, bisa-bisa beberapa industri lari ke negara tetangga yang energinya lebih kompetitif,” ujarnya.
Menurut Saleh, apabila industri dikenai harga gas regasifikasi LNG mencapai US$16,77 per MMBtu, maka banyak pelaku industri berisiko menutup operasi atau memindahkan pabrik ke negara tetangga yang menawarkan harga energi lebih murah. Bahkan, kondisi ini juga dapat memicu lonjakan impor produk jadi, mengancam industri dalam negeri, serta menurunkan kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Di samping itu, Saleh menegaskan bahwa keberlanjutan pasokan energi, termasuk gas bumi, menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8%. “Untuk tumbuh 8%, industri harus tumbuh lebih dulu. Tanpa industri yang kuat, ekonomi tidak akan mencapai target itu,” tuturnya.
Solusi Sementara: Impor Gas
Pelaku usaha berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis, termasuk memperbolehkan industri untuk mengimpor gas dengan mekanisme terukur, agar industri nasional tetap tangguh, efisien, dan kompetitif di pasar global. Salah satu opsi yang diajukan adalah impor gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) sebagai solusi sementara untuk memenuhi kebutuhan industri.
Saleh menjelaskan bahwa jika pasokan dalam negeri terbatas, pemerintah dapat memperbolehkan industri untuk mengimpor gas untuk kebutuhan industri, bukan kebutuhan importir umum. Agar kebijakan impor gas berjalan efektif dan tidak menimbulkan distorsi, Kadin meminta pemerintah menyiapkan payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin kepastian pasokan dan distribusi gas bagi industri.
“Sektor industri membutuhkan kepastian kebijakan yang berkelanjutan. PP ini juga harus membuka ruang bagi industri untuk mengimpor gas secara mandiri dan membangun infrastruktur jaringan gas di kawasan industri,” ujarnya.
Dukungan dari Asosiasi Industri
Senada dengan Kadin, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan menyatakan dukungan terhadap terbukanya keran impor gas untuk memastikan industri tetap berproduksi. Ia menilai bahwa impor LNG adalah salah satu solusi untuk mengurangi kelangkaan gas dan memperkuat komposisi biaya yang tidak hanya bergantung pada satu sumber.
Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Sri Bimo Pratomo menambahkan bahwa opsi impor LNG juga dapat dilakukan dengan mengambil pasokan gas dari Amerika Serikat (AS). Harga gas dari AS dinilai murah yakni sebesar US$3,43 per MMBtu. Dengan impor gas dari AS, ia menilai hal ini dapat melancarkan negosiasi penurunan tarif resiprokal AS terhadap produk Indonesia senilai 19%.
Permintaan Kebijakan DMO
Sementara itu, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk pasokan gas guna memastikan kebutuhan industri terpenuhi sebelum diekspor. Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menyampaikan harapan bahwa pemerintah juga memikirkan selain izin impor, DMO bisa diterapkan untuk energi gas seperti batu bara.
Produksi Gas Domestik Masih Cukup
Meski begitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bahwa pemerintah masih memprioritaskan produksi gas domestik untuk memenuhi kebutuhan nasional. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengatakan bahwa ketersediaan gas dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan pasar. Namun, pemerintah tetap memandang ketahanan energi dan memilih untuk menahan impor saat ini.
Laode memastikan bahwa pihaknya akan menampung dan menghormati masukan atau usulan dari pelaku industri. Meskipun ada usulan impor LNG, keputusan pemerintah saat ini masih bulat untuk tidak membuka keran impor LNG.
COMMENTS