Menggali Kedalaman Diri Melalui Latihan Teater Ngaos Art Dalam tubuh manusia, terdapat dua kutub yang tampak bertentangan: laki-laki dan pe...

Menggali Kedalaman Diri Melalui Latihan Teater Ngaos Art
Dalam tubuh manusia, terdapat dua kutub yang tampak bertentangan: laki-laki dan perempuan, keras dan lembut, rasional dan intuitif. Semua unsur ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling bertemu, berdialog, bahkan bertarung dalam satu wadah: tubuh yang sadar akan kehadirannya. Ketika tubuh disadari sebagai ruang perjumpaan berbagai makna, ia tidak lagi sekadar alat ekspresi, melainkan menjadi panggung kehidupan itu sendiri.
Inilah yang tampak dalam sesi latihan rutin Teater Ngaos Art Fondation Tasikmalaya, Senin malam, 13 Oktober 2025, di Studio Ngaos Art. Dalam bimbingan AB Asmarandana, para aktor berlatih bagaimana tubuh dapat menanggung makna ganda tanpa kehilangan keseimbangannya. Latihan malam itu bukan sekadar tentang teknik peran atau akting, tetapi tentang menyelam ke kedalaman diri—ke ruang sunyi tempat manusia menatap dirinya sendiri tanpa topeng.
Tubuh sebagai Arsip Jiwa
“Tubuh itu arsip jiwa,” ujar AB Asmarandana. “Setiap gerak, tatapan, dan ekspresi adalah ingatan yang hidup.” Latihan dimulai dengan simulasi mengunci ekspresi, seperti topeng alami yang ditempelkan pada wajah. Para peserta diminta mempertahankan satu ekspresi, apa pun situasi emosional yang mereka rasakan.
Pada simulasi pertama, peserta membuat ekspresi senang lalu diminta menceritakan pengalaman sedih. Banyak yang gagal mempertahankan wajahnya, karena tubuh mereka menolak kepalsuan, ingatan dan rasa sedih menggerakkan otot-otot wajah tanpa sadar.
Simulasi kedua berbalik, ekspresi sedih, tapi bercerita tentang kesedihan orang lain. Lagi-lagi tubuh mengkhianati niat—ekspresi malah semakin dalam karena empati ikut berbicara.
Di simulasi ketiga, wajah marah digunakan untuk menceritakan kisah bahagia. Beberapa peserta tampak kaku, sebagian lain justru menunjukkan konflik batin antara “marah” yang dikunci dan “senang” yang diceritakan.
Lalu simulasi keempat menguji reaksi spontan: ekspresi kaget terhadap berbagai stimulus—antara tragedi dan kebahagiaan—yang memperlihatkan betapa elastis tubuh terhadap makna yang berubah-ubah.
Tubuh, Peran, dan Kesadaran
Dalam simulasi kelima, peserta berpasangan sebagai juragan dan pembantu, saling menukar peran dan ekspresi. Di sini, tubuh mulai menemukan keseimbangannya: ekspresi bukan lagi hasil rekayasa, tetapi lahir dari cerita dan rasa yang tumbuh organik.
Latihan ini menegaskan prinsip dasar seni peran: acting bukan imitasi, melainkan penyelaman. Pada simulasi terakhir, peserta laki-laki diminta menjadi perempuan, bahkan menjadi ibu masing-masing; sementara peserta perempuan menjadi laki-laki dan ayah mereka. Di sinilah tubuh benar-benar menanggung makna ganda. Ketika menjadi “ibu” atau “ayah”, para peserta tak lagi bermain stereotip. Mereka menghadirkan sosok itu dengan rasa hormat dan kedalaman emosional, seolah tubuh mereka berubah menjadi ruang kenangan.
Tubuh sebagai Cermin Keutuhan Jiwa
Latihan di Teater Ngaos Art bukan sekadar pelatihan ekspresi. Ia adalah ritual kesadaran tubuh, di mana setiap aktor belajar berdamai dengan dualitas dalam dirinya. Tubuh laki-laki menyimpan kelembutan; tubuh perempuan menampung kekuatan. Tubuh menjadi jembatan antara rasio dan intuisi, antara fakta dan perasaan.
Maka seni peran berhenti menjadi sekadar tiruan kehidupan. Ia berubah menjadi penyelaman spiritual, tempat aktor menyingkap lapisan-lapisan dirinya, hingga akhirnya menemukan bahwa setiap peran hanyalah cermin dari keutuhan jiwa manusia.
COMMENTS