Kebijakan Makan Bergizi Gratis di Garut Menghadapi Kritik Kasus keracunan makanan massal yang menimpa 657 siswa di Kecamatan Kadungora, Kab...

Kebijakan Makan Bergizi Gratis di Garut Menghadapi Kritik
Kasus keracunan makanan massal yang menimpa 657 siswa di Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, telah memicu perdebatan luas mengenai pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini seharusnya memberikan gizi yang seimbang bagi para siswa, namun justru menimbulkan risiko kesehatan serius. Siswa-siswi tersebut mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG seperti nasi uduk, ayam woku, tempe orek, dan buah stroberi.
Menu tersebut diproduksi oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Yayasan Al Bayyinah 2. Sampel makanan kini sedang diperiksa di laboratorium Bandung untuk menentukan penyebab pasti dari insiden ini. Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini?
Peran Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Program
Program MBG yang digagas pemerintah pusat memerlukan koordinasi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan. Di balik skema besar ini, peran kepala daerah menjadi kunci utama dalam menentukan apakah program berjalan sesuai tujuan atau justru menimbulkan masalah.
Menurut Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, pemerintah daerah harus menjalankan tiga hal penting:
- Pembangunan Infrastruktur Pendukung: Mulai dari dapur higienis, jalur distribusi makanan, hingga sarana sanitasi yang layak.
- Penguatan Rantai Pasok: Pastikan bahan pangan berkualitas tersedia secara merata dan berkelanjutan.
- Penyaluran MBG Secara Terpadu: Kelompok prioritas seperti anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui harus benar-benar menerima manfaat program ini.
Faktor Penentu Keberhasilan Program
Meskipun anggaran MBG sudah dialokasikan melalui APBN, keberhasilan di lapangan tetap bergantung pada kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur lokal. Kepala daerah memiliki tanggung jawab memastikan para petugas ini mendapat dukungan penuh saat bertugas.
Kasus keracunan massal di Garut menjadi contoh nyata bagaimana lemahnya pengawasan daerah bisa menimbulkan masalah serius. Tanpa sertifikat higienis, SPPG tetap beroperasi dan akhirnya memicu tragedi. Hal ini menunjukkan peran kepala daerah bukan hanya administratif, tetapi juga pengawasan aktif di lapangan.
SPPG Belum Kantongi Sertifikat Higienis
Anggota DPRD Garut, Yudha Puja Turnawan, mengungkap bahwa mayoritas dari 58 SPPG di wilayah ini belum memiliki Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS). Fakta tersebut jelas menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap penyedia makanan MBG. Padahal, sertifikat higienis ini menjadi syarat mutlak sebelum dapur makanan melayani konsumsi publik.
"Berdasarkan konfirmasi dengan Badan Gizi Nasional atau BGN, proses penerbitan SLHS memang tengah berjalan. Namun kita menyayangkan lemahnya pengawasan hingga SPPG tetap diizinkan beroperasi tanpa sertifikasi," ucap Yudha.
Desakan Tindakan Tegas
Yudha menegaskan bahwa SPPG bermasalah harus dihentikan sementara. Ia juga meminta evaluasi menyeluruh terhadap sistem produksi dan distribusi MBG. Menurutnya, insiden ini tidak bisa dianggap sepele karena menyangkut hak anak untuk mendapatkan makanan yang aman.
Selain itu, Dinas Kesehatan diminta menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Tidak boleh lagi ada kasus air tercemar E-coli yang dipakai untuk kebutuhan MBG, atau penolakan SPPG terhadap pemeriksaan Puskesmas.
Yudha juga mendesak Satgas MBG tingkat Kabupaten Garut yang diketuai oleh Sekretaris Daerah (Sekda) untuk lebih proaktif dalam memfasilitasi penerbitan SLHS dan melakukan supervisi langsung.
COMMENTS